Kisah tentang Rambut Si Penghuni Gubuk

M. Irfan Ilmie

Bagi wanita, rambut adalah mahkota. Saking antusiasnya, sebagian wanita rela menghabiskan harta dan waktunya untuk menjaga keindahan mahkota. Namun hal itu tidak berlaku bagi Made Murniasih. Perempuan yang tinggal di Jalan Kenyeri Nomor 12, Semarapura, Bali, itu rela digunduli suaminya, Putu Eka Sucipta.

Pemelontosan kepala istri oleh suami itu bukan ranah Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang pelakunya dapat dihukum penjara selama lima tahun atau denda sebesar Rp15 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.

Justru pasangan suami-istri yang tinggal di gubuk kecil di Ibu Kota Kabupaten Klungkung itu saling menyerahkan diri, melucuti mahkotanya masing-masing. Tidak tanggung-tanggung pasangan suami-istri yang sama-sama berusia 39 tahun itu juga menggunduli kedua anak kembarnya berusia enam tahun. Tanpa sedikit pun rasa sesal, Murniasih tersenyum di depan juru foto saat digunduli suaminya sambil menimang Komang Sumartana dan Ketut Sumardana.

Begitulah kira-kira gaya kaum marginal mengekspresikan sebuah kemenangan. “Ini janji kami sekeluarga kalau Jokowi (Capres Joko Widodo yang berpasangan dengan Cawapres Jusuf Kalla pada Pilpres 2014) menang,” kata Eka Sucipta setelah membayar kaul atas kemenangan sang pujaannya itu, Senin (14/7).

Perilaku yang tergolong nekat namun unik itu diakuinya sebagai “janji suci” keluarga sederhana yang tinggal di gubuk berdinding gedek 2×2 meter. “Tak ada paksaan dari siapa pun, apalagi ada yang bayar,” tuturnya.

Murniasih sadar perilakunya bakal menyita perhatian publik. Namun dia bukan penganut aliran narsisisme yang butuh perhatian publik atau mencari-cari popularitas murahan. Sudah dua tahun lebih keluarga kecil itu meninggalkan kampung halamannya di Banjar (dusun adat) Bucu, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Di Semarapura, mereka berusaha memperbaiki nasib. Murniasih keluar-masuk gang menjajakan bubur, sedangkan Eka Sucipta berkeliling kota menawarkan jasa sebagai tukang sol.

Dalam menentukan sikap politik, pasangan suami-istri itu memiliki pertimbangan yang sangat sederhana, tanpa harus memelajari visi dan misi kandidat, apalagi mengamati hasil survei tingkat elektabilitas. “Beliau baik, polos, dan kalem,” ujar Murniasih mengartikulasikan mimpinya tentang Jokowi sebagai pemimpin negara yang bersahaja.

Atas dasar itulah, dia menyatakan tidak ragu-ragu mencoblos pasangan nomor urut 2 yang dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia pada pilpres 9 Juli lalu itu. “Mudah-mudahan Pak Jokowi nantinya tetap memperhatikan rakyat miskin,” kata Murniasih menitipkan pesan kepada calon Presiden 2014-2019 yang didukungnya sepenuh hati itu.

Semurni Hati Nurani
Harapan Murniasih dan keluarganya itu sangat sederhana, sesimpel keinginan “wong cilik” mendapatkan perhatian dari penguasa, tanpa disertai konspirasi ala “dagang sapi”. Rambut yang dicukurnya pun tak perlu ditukar dengan materi karena mahkota kaum Hawa itu memang tak ternilai harganya.

Mungkin hanya Murniasih satu-satunya wanita pendukung Jokowi yang melampiaskan kebahagian bersama suaminya itu dengan caranya sendiri yang “nyeleneh”.  Apalagi sebagai orang yang sangat awam politik, dia tidak menggabungkan diri dengan organisasi atau komunitas apa pun, termasuk kelompok relawan pendukung Jokowi.

Ulahnya pun bukan dipengaruhi oleh pendukung Jokowi-JK di Kuta dan Singaraja yang sama-sama punya nazar mengobarbankan rambutnya lebih dulu. Namun di kedua tempat itu pelakunya kaum Adam semua. Mereka memang mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk memenangkan Jokowi-JK selama proses pilpres berlangsung secara bertahap. Aksi itu mereka lakukan beberapa saat begitu perolehan suara Jokowi-JK mengungguli pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa versi hitung cepat delapan lembaga survei, Rabu (9/7).

Gundul massal itu hampir mirip dengan momentum Pilkada Provinsi Bali pada 15 Mei 2013. Saat itu kader dan simpatisan PDIP merayakan pesta setelah pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Bali, Anak Agung Ngurah Puspayoga-Dewa Nyoman Sukrawan, menang versi “quick count” dengan selisih kurang dari satu persen. Namun kegembiraan mereka tidak berlangsung lama karena hasil rekapitulasi suara mulai dari tingkat PPS, PPK, KPU kabupaten/kota, hingga KPU Provinsi Bali memenangkan pasangan Made Mangku Pastika-Ketut Sudikerta yang selisihnya hanya 996 suara.

Pilpres 2014 tentu berbeda dengan Pilkada Bali 2013. Berdasarkan rekapitulasi KPU Provinsi Bali, Jumat (18/7), Jokowi-JK meraih 1.535.110 suara atau 71,42 persen yang tersebar di sembilan kabupaten/kota. Sementara Prabowo-Hatta yang dicalonkan Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Amanat Nasional, Partai Golongan Karya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Bulan Bintang, serta didukung oleh Partai Demokrat itu hanya mendapatkan 614.241 suara (28,58 persen) dari masyarakat Pulau Dewata.

Wayan Koster selaku Ketua Tim Pemenangan Jokowi-JK Provinsi Bali melarang para pendukung, simpatisan, dan relawan menggelar pesta kemenangan. “Kami sudah memberikan arahan dan instruksi agar tidak melakukan syukuran sampai selesainya proses dan tahapan rekapitulasi di KPU Pusat pada 22 Juli nanti,” kata Ketua DPC PDIP Kabupaten Klungkung yang bakal duduk di kursi DPR untuk periode ketiganya itu.

Koster menganggap pentingnya larangan itu untuk menghindarkan loyalis Jokowi dan simpatisan PDIP di Bali dari gesekan-gesekan dengan pendukung pasangan Prabowo-Hatta yang juga mengklaim kemenangan. Namun imbauan Koster yang instruktif itu tentu bukan untuk Murniasih yang sama sekali tidak terikat secara struktural dengan garis partai politik mana pun, termasuk parpol pimpinan Koster di Kabupaten Klungkung. Kenginan Murniasih tidak saja didasari kasih sayang kepada sang suami. Niat Murniasih semurni suara hati nurani. (*)