Ingin Tahu Penggugah Sahur di Taiwan?

M. Irfan Ilmie

Tengah malam di atas ketinggian 250 meter dari permukaan laut, udara terasa sangat menggerahkan. Sesaat rinai hujan yang menyinggahi wilayah perbukitan pada sore hari menghapus dahaga bumi.
Pada musim panas dengan suhu udara rata-rata 35 derajat Celcius membuat penduduk Taiwan tak betah lama-lama berada di dalam rumah. Bagi mereka musim panas identik dengan liburan seiring dengan berakhirnya program pendidikan.

Tempat-tempat pelesiran, baik pantai maupun pergunungan, pada akhir pekan selalu dipadati orang. Penduduk Taiwan gemar melakukan aktivitas pelesiran di ruang terbuka. Oleh sebab itu, pemerintah Taiwan menyediakan ruang terbuka dalam bilangan tidak terbatas, meskipun dataran rendah di Pulau Formosa itu hanya 30 persen karena selebihnya bukit berbatu.

Yilan County merupakan salah satu kabupaten di Taiwan yang menjadi tujuan utama wisatawan, baik domestik maupun asing. Selain memiliki beberapa pantai karena lokasinya berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik yang membentang luas memisahkan tiga benua, Yilan juga punya wilayah perbukitan dengan beragam jenis tanaman.

Mudahnya akses transportasi dari Ibu Kota Taiwan di Taipei yang berjarak sekitar 60 kilometer juga menjadikan Yilan sebagai salah satu destinasi wisata favorit. Apalagi untuk menuju Yilan, ada banyak pilihan moda transportasi. Penumpang bus atau kendaraan bermotor lainnya akan mendapatkan pengalaman menerobos Snow Montain sepanjang 12,9 kilometer sebagai terowongan terpanjang kedua di Asia.

Bagi pengguna kereta api juga tidak perlu kecewa karena mata akan dimanjakan oleh deburan ombak Samudera Pasifik yang melambai-lambai di sisi timur. Belum lagi pemandangan khas perbukitan yang hijau di sisi barat.

Syahdan, perjalanan ke Yilan bagaikan menyusuri dua alam sekaligus, perbukitan dan pantai, dengan nuansa kenyamanan tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.

Morning Call
Jarum jam masih menunjuk angka 3, namun “morning call” sudah berdering. Tidak biasanya memang, “morning call” sedini itu. Namun sangat berarti bagi umat Islam yang menjalani puasa pada esok harinya.

Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu dari pramusaji. Sebakul nasi, tiga butir telur rebus, sepiring kacang goreng kupas ditambah oseng-oseng terung yang tertata rapi di di atas meja terasa lebih dari cukup untuk santap sahur.

“Morning call” itulah yang disediakan pihak Shangrila Leisure Farm Hotel untuk membangunkan tamunya yang menjalani ibadah puasa pada esok harinya.

Pihak hotel sadar bahwa di Taiwan yang mayoritas penduduknya bukan muslim tidak akan terdengar suara azan atau tarhim penggugah sahur. “Oleh sebab itu, kami menyiagakan staf untuk membangunkan tamu kami yang hendak makan sahur agar bisa tetap puasa pada saat liburan di sini,” kata Chang Ping, IT Deputy Shangrila Leisure Farm Hotel, di Yilan, Jumat (26/6).

Makanan yang disajikan pun dijamin kehalalannya. “Umat Islam tidak perlu ragu dengan makanan kami,” ujarnya seraya menunjukkan sertifikat halal yang dikeluarkan Asosiasi China Muslim (CMA) Taiwan yang terpasang di dinding restoran hotel tersebut.

Karena sudah mendapat supervisi dari CMA, maka wadah dan tempat makan khusus untuk tamu yang beragama Islam pun berbeda dengan yang lain. Bahkan untuk memudahkan tamu beragama Islam, pihaknya memasang tanda petunjuk kiblat di setiap kamar hotel, berikut dengan jadwal dan perangkat alat shalat.

“Bagi tamu yang bukan beragama Islam memang terasa aneh, tapi kami tidak segan-segan memberikan penjelasan,” ujarnya mengenai petunjuk arah yang terbuat dari kayu berukiran aksara Arab di plafon kamar.

Selain di Shangrila Leisure Farm Hotel, hal yang sama juga terdapat di Shangrila Boutique Hotel. Boleh jadi, kedua hotel yang dibangun oleh Chang Ching Lai, seorang petani sukses di perbukitan Yilan, itu merupakan satu-satunya jaringan hotel berbasis syariah di Taiwan.

Keluarga besar Chang Ching Lai bukanlah pemeluk agama Islam, apalagi belajar tentang Islam. Ia menganggap semua agama mengajarkan kebaikan. “Bukan karena sekarang bulan puasa, lantas kami memberikan pelayanan khusus kepada umat Islam,” ujar Ping, anak kedua Ching Lai, yang bertanggung jawab atas operasional Shangrila Leisure Farm Hotel.

Ching Lai merintis usaha perhotelan sejak 14 tahun yang lalu. Namun baru empat tahun terakhir dia mengembangkan hotel tersebut berbasis syariah. “Kami merasa perlu memberikan perhatian kepada tamu-tamu kami yang beragama Islam dengan memudahkan mereka beribadah dan membantu menyediakan makanan yang benar-benar sesuai dengan ajaran mereka,” kata Ping.

Upaya yang dilalukan itu justru memperluas segmentasi hotel tersebut karena bukan semata menawarkan sensasi pelesiran, melainkan juga menghapus keraguan tamu muslim akan kehalalan makanan yang disajikan.

“Apalagi sekarang ini setiap hari ada penerbangan langsung dari Dubai ke Taipei. Peluang ini perlu kami manfaatkan,” ujar sarjana teknologi informatika dari salah satu perguruan tinggi di Taiwan itu.

Shangrila Boutique Hotel yang berlokasi di No 15 Gongyuan II Road, Wuchen Township, Yilan County, terdapat 72 kamar. Hotel tersebut juga dilengkapi kapel untuk pesta pernikahan bagi umat Nasrani.
Sementara Shangrila Leisure Farm Hotel yang ada di atas perbukitan Yilan tepatnya di No 168, Meishan Road, Dahjin, Dongshan, terdapat 100 kamar.

Hotel tersebut berada di tengah-tengah kebun raya yang dikembangkan oleh Ching Lai sejak puluhan tahun lalu. Mata pengunjung akan dimanjakan oleh pemandangan hijau dan menyegarkan dengan aneka ragam tanaman yang terbentang di atas lahan seluas 150 ribu meter persegi.

Dari gazebu di atas puncak perbukitan, pengunjung juga bisa menatap langsung lembah Yilan.
Pada malam harinya, setiap pengunjung mendapat kesempatan mengikuti pesta kembang api, aneka jenis permainan tradisional, dan menerbangkan lampion. (*)

Berkah Imlek Bagi Umat Islam di Taiwan

M. Irfan Ilmie
Dinginnya lantai pualam tak membuat ratusan pekerja asal Indonesia beranjak. Mereka tenggelam dalam canda dan tawa khas dengan konfigurasi lesehan.
Mereka juga tidak sedang mengantre tiket. Apalagi stasiun kereta api yang berada di pusat Kota Taipei itu bukanlah masjid atau balai RW di tengah permukiman. Stasiun yang dibangun pada 1891 bersamaan dengan dibukanya jalur kareta api dari Taipei menuju Keelung itu bukanlah sekadar tempat pemberhentian kereta dan naik-turunnya penumpang.
Gedung yang dari ke waktu dimodernisasi namun tetap mempertahankan arsitektur aslinya bernuansa kekaisaran China kuno itu bagaikan surga bagi para pekerja asal Indonesia di Taiwan pada hari libur.
Di fasilitas publik yang mudah dijangkau dari berbagai penjuru daerah di Taiwan itu terdapat beberapa mal, baik yang berdiri sendiri di sekitarnya maupun di lantai bawah tanah stasiun yang mampu menampung 600 ribu orang itu. Berbagai jenis barang kebutuhan dijual dengan harga terjangkau.
Hal yang penting bagi mereka pada hari libur adalah bertemu teman atau kerabat senasib dan seperjuangan di negeri kepulauan nan elok di hamparan lautan Pasifik itu. Mereka “melantai” dari pagi hingga sore dengan diselingi makan dan minum. Kalau pun capek duduk bersila berjam-jam, badan tinggal direbahkan. Syal yang melilit di leher untuk menghalau udara dingin pun berubah fungsi menjadi alas badan.
Saat jarum jam kuno di atas deretan loket menunjuk angka 9 malam, satu-persatu di antara mereka mulai meninggalkan “hall”. Menuruni tangga tiga lantai menuju “platform” guna menunggu kereta yang akan membawa mereka kembali ke tempat kerja.
Itulah suasana akhir pekan dan hari libur, khususnya bagi para pekerja asal Indonesia, di “Taipei Main Station” sebagai sebuah sistem “hub” yang memadukan berbagai moda transportasi, seperti kereta api reguler, kereta cepat, kereta bawah tanah (MRT), bus kota, bus antarkota, dan taksi.
Bilik Disulap Jadi Mushala
Musim dingin masih belum berlalu. Namun nuansa Imlek sudah terasa. Karakter China bertuliskan “Zhong Guo Xin Nian Kuaile” (Selamat Tahun Baru China) sudah bertebaran di setiap sudut kota.
Pada sore hari, sebagian warga sudah mengeluarkan aneka bentuk “sesajian” di depan rumah loteng. Letusan petasan dan sulutan kembang api memecah gelapnya langit malam seakan menyampaikan pesan “tahun baru segera tiba” (Xin Nian Kuaile). Pernak-pernik bernuansa merah menyala dan kuning emas memadati lapak-lapak para pedagang pasar malam yang menjamur di berbagai sudut Kota Taipei.
Para pekerja asal Indonesia pun tak kalah suka citanya. Mereka berdebar-debar menunggu “angpao” dari sang majikan (laoban) dengan jumlah bervariasi. Ada yang isi “angpao”-nya setara satu kali gaji, tetapi tidak sedikit yang alakadarnya. Ada juga yang dalam bentuk penghargaan tahunan melalui penilaian kinerja atau undian dengan jumlah fantastis, bisa mencapai 400 ribu NT (sekitar Rp160 juta) seperti ramai dibicarakan di media sosial para pekerja beberapa hari yang lalu.
Namun, bagi pekerja asal Indonesia ada yang lebih berharga daripada sekadar “angpao laoban”. Mereka, khususnya yang beragama Islam seakan mendapatkan berkah menjelang Imlek.
Tanpa disadari, keberadaan mereka yang memanfaatkan TMS untuk berlindung dari cuaca dingin dan hujan, mendapatkan perhatian serius dari pemerintah Taiwan. Pihak pengelola TMS, merelakan satu bilik tempat peristirahatan para pegawai Taiwan Railway Administration (TRA).
Bilik yang mampu menampung enam sampai delapan orang di Blok B-1 itu disulapnya menjadi tempat beribadah bagi umat Islam. Lokasinya pun mudah dituju. Begitu turun dari kereta api di “platform” Blok B-2, naik satu lantai menuju “locker room”. Di pojok ruang loker dekat loket pembelian tiket itulah mushala tersebut berada, pintunya pun mengarah ke areal parkir kendaraan bermotor.
“Ini berkah Imlek,” kata Agus Susanto dari Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI-NU) Taiwan beberapa saat setelah mendapatkan kepercayaan sebagai penjaga mushala dari Master of TMS Hsin-Li Chien, Minggu (1/2).
Chien secara khusus memanggil jajaran PCI-NU Taiwan untuk menjaga mushala tersebut setiap akhir pekan. “Tolong bantu kami, jaga dan rawat tempat itu,” pesannya. Pihaknya juga sedang menyiapkan biaya pemeliharaan dan kebersihan mushala tersebut. “Kalau ada masalah keamanan segera hubungi kami,” ucapnya kepada Agus yang saat itu didampingi Ketua PC Fatayat Taiwan Tarnia Tari.
Kepada Chien, Agus dan Tari menyampaikan rasa terima kasihnya atas perhatian pemerintah Taiwan terhadap umat Islam dalam menjalankan ibadah shalat. “Saya berharap, mushala ini bisa dimanfaatkan seterusnya oleh umat Islam. Tidak hanya selama kepemimpinan Bapak saja,” pinta Tari yang langsung diiyakan oleh Chien.
Chien lalu bercerita mengenai ide mulianya itu. “Mulanya ada teman saya dari Indonesia yang datang ke mari. Dia merasa kesulitan saat beribadah,” ujarnya.
Kesadaran Tergugah
“Betapa setiap akhir pekan banyak orang Indonesia datang ke mari. Pasti mereka kesulitan kalau mau sembahyang,” tuturnya.
Setelah berpikir selama beberapa hari. Akhirnya Chien mendapatkan ide bahwa ruang istirahat pegawai itu dirombaknya agar bisa dimanfaatkan umat Islam. “Kami pun tahu, bahwa pekerja asal Indonesia sering menggelar kegiatan keagamaan di sini. Bahkan, mereka juga sembahyang di halaman kami,” ujarnya menambahkan.
Sederhana, namun apa yang dilakukan Chien mampu membuka cakrawala berpikir positif masyarakat Taiwan terhadap umat Islam. Setidaknya, dalam sehari itu Chien dan Agus sibuk melayani wawancara puluhan awak media di Taiwan, baik televisi, online, maupun cetak, berkenaan dengan pembukaan mushala.
Sementara itu, Kamal Cheng, mahasiswa Jurusan Sastra dan Budaya Arab “National Taiwan Chengchi University” Taipei, menganggap biasa-biasa saja keberadaan mushala tersebut.
“Memang sudah seharusnya pemerintah Taiwan menyediakan tempat beribadah bagi umat Islam. Apalagi TMS itu setiap akhir pekan dipadati orang Indonesia yang mayoritas beragama Islam,” ujarnya.
Justru dia menilai langkah tersebut terlambat karena di Bandara Internasional Taoyuan sudah ada mushola sejak lama. “Bagi kami itu bukan apresiasi, melainkan sesuatu kewajaran yang seharusnya sejak lama ada,” kata Kamal.
Apresiasi atau apa pun bentuk perhatian bukanlah esensi dari keberadaan mushala tersebut karena yang lebih penting adalah bagaimana menjaga amanat yang diberikan oleh pemerintah Taiwan, dalam hal ini pengelola TMS.
Perwakilan pemerintah Indonesia di Taiwan juga mengingatkan pentingnya menjaga amanat tersebut. “Amanat itu harus dijalankan dengan baik dan sungguh-sungguh,” kata Wakil Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei, Harsono Aris Yuwono.
Bukan kali ini saja NU mendapatkan kepercayaan mengelola mushala di negeri yang sama sekali tidak mengatur persoalan keberagamaan tersebut. Beberapa pengurus NU sudah lama terlibat dalam meramaikan Masjid Taichung. Bahkan, PCI-NU Taiwan pernah juga berkantor di masjid Jalan Xinhai, Taipei.
Masjid Attaqwa di Taoyuan dan Masjid Annur di Donggang, Pintung County, juga dirintis oleh kader-kader nahdliyin. Mereka rela berkorban demi terwujudnya impian membangun “rumah Allah” di Bumi Formosa.
Dengan adanya mushala baru di TMS, seakan menambah alternatif pilihan bagi umat Islam di Taiwan dalam menjalankan rukun Islam kedua itu selain Masjid Agung Taipei di Daan Park dan masjid di Jalan Xinhai.
Banyaknya masjid yang dikelola nahdliyin di Taiwan itu bukan sesuatu yang mengherankan karena dari 223 ribu jumlah pekerja asal Indonesia, sekitar 70 persen adalah kaum “sarungan” dan “kudungan”.
Bahkan, di antara mereka tidak sedikit pula yang pintar mengaji dan berdakwah. NU di Taiwan bukanlah sekadar wadah berorganisasi dan tempat pengajian semata, melainkan sudah menjadi sarana mengenalkan identitas Islam keindonesiaan yang santun dan merahmati semesta karena masjid dan mushola itu tidak dikhususkan bagi warga negara Indonesia saja. (*)

Imlek ala Nelayan Indonesia

M. Irfan Ilmie

Bagi sebagian besar masyarakat Taiwan, Imlek bukan sekadar tahun baru menurut penanggalan mereka, melainkan juga penanda pergantian musim, dari musim dingin ke musim semi.

Namun, sepertinya tahun ini agak berbeda. Orang-orang yang lalu-lalang di Magong masih pantas mengenakan jaket tebal karena teriknya sinar matahari belum sepenuhnya mampu mengusir hawa dingin.

Bedanya, untuk kaum perempuan sudah tidak lagi memakai bot seperti beberapa hari sebelumnya saat suhu udara di sebagian besar wilayah negara kepulauan itu yang rata-rata berkisar pada angka 10–15 derajat Celsius.

Akses jalan menuju luar Kota Magong siang itu terbilang lengang. Berbeda dengan situasi jalan raya di dalam kota yang dijejali pejalan kaki karena telah beralih fungsi menjadi pasar kaget yang menjual berbagai macam kebutuhan Imlek, buah-buahan, makanan khas Penghu, dan arena adu ketangkasan berhadiah langsung.

Demikian pula dengan warga negara Indonesia di Ibu Kota Pulau Penghu itu, juga tidak mau ketinggalan dengan momentum tahunan tersebut.

Mereka yang kebanyakan menggantungkan hidupnya di perairan Selat Taiwan hingga Samudra Pasifik itu turut meramaikan suasana Imlek 2015, Kamis (19/2).

Ada yang berkumpul di warung Johny yang khusus menjual penganan khas Nusantara. Ada juga yang duduk-duduk di halte atau tempat keramaian lainnya untuk mengisi jeda melaut.

Sebagian lain berkerumun di tempat pelelengan ikan yang pada siang itu berbeda dari hari-hari biasa. Mereka tertawa lepas bukan karena hasil tangkapan melimpah dan dihargai tinggi oleh pengepul.

Mereka menertawai diri-sendiri atau bahkan temannya yang terjerembap di arena tarik tambang. Terlebih lagi, orang yang terjerembap itu secara fisik lebih besar sehingga sorakan pun makin riuh.

Tidak hanya tarik tambang, para pekerja yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Penghu Indonesia-Taiwan (Forspita) dan “The Big Family of Magong” itu juga semarak oleh lomba balap karung, sepeda lambat, pukul kendil, joget dangdut, ambil koin dalam tepung, dan makan kerupuk.

Bagi penduduk asli Pulau Penghu, kegiatan para nelayan itu menjadi hiburan tersendiri. Tidak jarang para majikan mereka sekaligus pemilik kapal menyempatkan diri mendatangi tempat pelelangan ikan itu. Bahkan, di antara mereka terpingkal-pingkal menyaksikan kelucuan para anak buah kapal yang sedang “beraksi” di darat itu.

Para majikan itu takpernah merasa rugi karena dana yang disumbangkan untuk kegiatan tersebut membuatnya terhibur. Polisi setempat yang berpatroli pun takkuat menahan tawa di sela-sela merekam aktivitas nelayan di arena perlombaan makan kerupuk.

Pada malam harinya di tempat yang sama diisi dengan acara pengajian dan doa bersama. “Kegiatan ini rutin kami gelar setiap Tahun Baru Imlek karena saat seperti inilah para nelayan dan pekerja lainnya libur panjang,” kata Najib Ibrahim selaku penasihat Forspita.

Ajang silaturahmi
Sudah puluhan tahun nelayan asal wilayah Pantura Pulau Jawa, Lampung, dan pesisir Sulawesi itu mengadu nasib di Pulau Penghu yang berbatasan dengan perairan wilayah Tiongkok.

Sampai saat ini nelayan asal Indonesia yang bekerja di pulau itu diperkirakan mencapai angka 1.700 jiwa. Mereka bekerja sesuai dengan perjanjian kontrak yang bisa diperpanjang setiap tiga tahun sekali.

Mereka mendiami beberapa pelabuhan pendaratan ikan yang tersebar di gugusan pulau seluas 141 kilometer persegi yang secara administratif menyatu ke dalam wilayah Penghu County.

Di masing-masing dermaga pendaratan ikan itu mereka membentuk kelompok. Setiap kelompok diketuai seorang “lurah”.

Di Kota Magong sendiri sedikitnya terdapat empat kelompok nelayan. Selebihnya tersebar di Lamkang, Waian, dan Xiaomen.

“Lurah” mereka diangkat berdasarkan senioritas atau yang paling lama bekerja di satu wilayah. Namun, tidak jarang di antara kelompok-kelompok tersebut terlibat perkelahian yang dipicu oleh persoalan sepele.

“Kalau sudah kayak gitu, kami harus turun tangan,” kata Ikhsan, nelayan asal Lampung yang sudah belasan tahun bekerja di sebagai pelaut di Lamkang.

Hampir setiap hari pria berusia 42 tahun itu terlibat langsung menyelesaikan konflik antarnelayan berkebangsaan Indonesia. “Tadi malam ada yang mau berkelahi,” tuturnya saat ditemui di sela-sela aktivitasnya di dalam kapal ikan di Pelabuhan Lamkang, Jumat (20/2).

Para “lurah” itu juga sering dimintai bantuan pihak kepolisian Penghu County untuk turut meredakan ketegangan antarnelayan.

Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan pula jika polisi setempat turut membantu pendanaan setiap kali ada kegiatan para nelayan, asalkan bersifat positif.

“Oleh karena itu, kegiatan lomba-lomba seperti sekarang sangat berarti untuk mempererat tali silaturahmi para pelaut,” kata Kartono selaku panitia kegiatan di Pelabuhan Magong, Kamis (19/2).

Selain di Magong, kegiatan serupa juga digelar para nelayan di Pelabuhan Waian. Sedikitnya 300 nelayan asal Indonesia berkumpul di lapangan basket dekat tempat pelelangan ikan pelabuhan tersebut, Jumat (20/2). *

Barokatologi di balik Musik Wali (Oleh-oleh dari konser di Taoyuan)

 

Oleh M. Irfan Ilmie

Musik adalah bahasa ruh. Ia membuka rahasia kehidupan, membawa perdamaian, dan menghapuskan perselisihan….

Begitulah Kahlil Gibran dalam mengartikulasikan musik yang kemudian banyak orang menyebut bahwa musik adalah bahasa universal umat manusia.

Personel The Beatless, John Lennon, menyerukan perdamaian melalui tembang andalannya “Imagine” yang sampai sekarang masih akrab di telinga para penikmat musik. Demikian pula dengan grup musik cadas asal Eropa, Scorpions, mendambakan perdamaian dunia melalui lagu “Wind of Change” yang sangat melegenda itu.

Michael Jackson pun turut menyampaikan pesan perdamaian dalam lagunya yang sangat populer “Heal The World”. Dalam video klip lagu yang dirilis pada 1991 itu, Raja Pop asal Amerika Serikat, yang meninggal pada 25 Juni 2014, tersebut membawa serta anak-anak kaum papa menyalakan lilin sambil berseru “Heal the world, make it a better place for you and for me and the entire human race.”

Lalu di Indonesia ada grup kasidah asal Semarang, Jawa Tengah, Nasyida Ria, yang kondang pada tahun 1980-an dengan lagunya berjudul “Perdamaian”. Lagu itu pun kemudian dikemas secara apik oleh grup musik papan atas di Tanah Air, Gigi, dengan sentuhan tempo irama cepat dan terkesan “ngerock” agar lebih akrab di telinga kawula muda.

Mereka, para penyeru perdamaian itu hidup di era industrialisasi. Mereka penggerak utama industri musik. Kreativitas mereka tentu saja setimpal dengan imbalan materi yang didapatkannya. Bagi mereka musik bukan kegemaran belaka, melainkan juga pundi-pundi harta. Entah itu royalti atau honor “manggung” di berbagai tempat.

Hal ini pula yang dirasakan oleh para mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Melalui “Wali Band”, mereka tidak hanya menuangkan ide kreativitasnya akan kegemarannya memainkan alat musik dan bernyanyi, melainkan juga telah menjadi sandaran hidup. Namun sebagai santri, mereka sadar bahwa popularitas dan limpahan materi yang didapatkannya bukan semata-mata dihasilkan oleh kreativitas dan kecerdasan emosionalnya.

“Ada ‘tangan’ yang terlibat sehingga kami menganggap hal ini sebagai keajaiban,” kata Apoy, penggagas terbentuknya “Wali Band” yang pandai mencipta lagu dan piawai memainkan gitar itu.

Alumnus pondok pesantren di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten, itu tidak ingin kreativitasnya bersama Faang (vokal), Tomi (drum), dan Ovie (keyboard) selalu dikonversikan dengan nilai materi semata.

“Kami tidak ingin mengutamakan kepentingan bisnis karena di setiap kreativitas kami selalu ada unsur ‘barokatologi’,” ujar Apoy saat ditemui seusai “manggung” di Taoyuan Stadium Arena, Taiwan, Minggu (23/11) malam.

Barokatologi                                                                                                                                                                 Bagi mereka bekerja tanpa beramal bagaikan pohon tanpa buah. Oleh karena itu, mereka tak hanya mengandalkan kekuatan talenta lahiriah, melainkan juga kedekatan batin dengan Sang Pencipta.

“Barokatologi itulah yang menaungi kami,” kata pria kelahiran 8 Maret 1979 yang memiliki nama lengkap Aan Kurnia itu.

Istilah berkah atau “barokah” sangat lazim bagi anak-anak pesantren. Sikap taat kepada guru dan rendah diri (tawadhu) merupakan modal utama bagi anan-anak pesantren bila ilmu yang mereka dapatkan mengandung berkah.

Berkah dalam arti luas mengacu pada standar kualitas, bukan kuantitas. Oleh karena itu, barokatologi bagi Apoy dan kawan-kawan di “Wali Band” menjadi nafas di setiap hasil karya mereka.

Apalagi saat ini Apoy, Faang, Tomi, dan Ovie masih dalam tataran mencari jati diri sebagai remaja shaleh sekaligus “role model” bagi anak muda lainnya.

Metode dakwah yang dipelajari di bangku kuliah dan madrasah dipadukan dengan totalitas seni ala Bang Haji Rhoma Irama. Sehingga mereka memilih musik sebagai media yang sangat efektif dalam menyampaikan pesan positif kepada masyarakat.

Apoy tidak ingin larut dalam perbedaan mazhab bermusik. “Mau orang lain menyebut musik kami kampungan, melayu, atau dangdut, silakan! Asal musik kami tak dianggap aliran sesat,” selorohnya.

Baginya, jenis musik apa pun, asalkan enak didengar, maka tugas utamanya menyampaikan pesan kepada khalayak telah berhasil. “Zaman sekarang ini serba sulit, kenapa harus bikin lagu-lagu yang sulit?” ujarnya menanggapi penilaian berbagai pihak bahwa karya-karya Wali Band terkesan “easy come, easy going” itu.

Dengan lagu-lagu yang pilihan notasinya sederhana dan liriknya cenderung jenaka, seperti Cari Jodoh, Tobat Maksiat (Tomat), dan Nenekku Pahlawanku, sudah barang tentu “tidak berkelas” bagi sebagian penikmat musik.

Namun lagu-lagu seperti itu yang saat ini digandrungi masyarakat. Bahkan tidak sedikit, lagu-lagu karya Apoy bersama Wali Band dinyanyikan dalam versi dangdut sehingga menyentuh segala lapisan masyarakat.

Percaya akan berkah yang mereka sebut dengan istilah “barokatologi” itu, anak-anak Wali Band tidak lupa untuk beramal, setidaknya hingga tiga album yang dirilisnya sejak 2008.

Bahkan, sebagian dari hasil penjualan cakram padat, nada tunggu, dan “manggung” di berbagai tempat dari album keempatnya bertitel “Doain Ya Penonton” akan ditasarrufkan untuk pembangunan sekolah bagi-bagi anak-anak di Gaza, Palestina.

“Di sana ada rumah sakit Indonesia. Maka kami bercita-cita mendirikan sekolah Indonesia. Di sana namanya Rumah Sakit Indonesia bukan ‘Mustasyfa Indonesiyyah’. Nantinya sekolah itu juga diberi nama ‘Sekolah Indonesia’ untuk anak-anak Gaza, bukan ‘Madrosah Indonesiyyah’,” kata Apoy.

Niat untuk mendirikan sekolah Indonesia di Gaza itu telah didahului dengan membentuk “Wali Care Foundation” sejak tiga tahun lalu.

Melalui yayasan itu, Wali Band telah menghimpun dan menyalurkan dana senilai Rp1,3 miliar untuk berbagai kegiatan sosial di Gaza dan Indonesia.

Menariknya, selain berasal dari donatur dan penggemar fanatiknya, dana tersebut juga dikumpulkan dari pemotongan 2,5 persen dari seluruh penghasilan personel Wali Band dan kru. Angka 2,5 persen itu dinisbatkan dengan standar zakat “maal” (harta).

Filosofi Barokatologi itu pula yang melandasi keinginan Joy Simson, pengusaha asal Indonesia di Taiwan, untuk menggelar konser gratis Wali Band.

Di Taoyuan Stadium Arena, Minggu (23/11) siang, penampilan Wali Band disaksikan sedikitnya 17 ribu pasang mata. Jauh melampaui angka penonton pada penampilan pertama pada 2012 yang hanya mencapai 12 ribu penonton. Penonton konser tahun ini dan dua tahun lalu sama-sama tidak dipungut biaya dan digelar di tempat yang sama.

“Tadinya kami ragu bisa mendatangkan penonton dalam jumlah yang sama dengan dua tahun lalu. Sempat terpikir untuk menghadirkan kelompok band fenomenal lainnya dari Indonesia,” ujarnya mengenai konser berbiaya 4 juta dolar Taiwan itu.

Dalam konser itu, Joy selaku pengelola Tabloid Indo Suara yang terbit di Taiwan tersebut melihat bahwa Wali Band telah menginspirasi anak-anak muda Indonesia, termasuk mahasiswa dan tenaga kerja Indonesia di Taiwan.

“Sama dengan Wali, kami juga berpandangan bahwa memberikan hiburan kepada masyarakat juga harus disertai dengan unsur yang mendidik,” ujar pria yang beristrikan warga negara Taiwan itu.

Menurut dia, Wali Band tidak hanya menyampaikan pesan kebaikan kepada pemeluk agama tertentu, melainkan juga umat manusia secara universal. “Kebaikan tidak hanya diajarkan dalam Islam. Orang Taiwan pun sejatinya senang dengan hiburan tanpa harus buka-buka baju segala,” ujarnya.

Selain Wali Band, konser musik yang digelar di lapangan terbuka yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Ibu Kota Taiwan di Taipei itu, Joy juga menghadirkan penyanyi dangdut Fitri Carlina dan Duo Anggrek.

Para penyanyi dangdut tersebut tampil dengan busana sopan untuk menghibur WNI yang haus akan musik pop khas Nusantara.  *

 

Karunia Itu Berlabuh di Donggang

M. Irfan Ilmie

Bekerja di negeri orang untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, tentu menjadi dambaan semua orang. Namun menjadi pintar ilmu agama di negeri yang tidak “beragama”, sudah barang tentu sebuah karunia yang tidak dimiliki semua orang.

Mendapatkan ilmu agama tidak harus didapat dari surau, masjid, madrasah, pondok pesantren, atau majelis taklim. Ilmu agama juga tidak mesti diturunkan dari ustaz, kiai, atau apa pun sebutan yang melekat pada diri orang alim.

Ratusan nelayan asal Indonesia yang mengadu nasib di Donggang (baca: Tongkang), Kabupaten Pingtung, mendapatkan ilmu agama justru dengan cara-cara yang tidak lazim. Mereka mengais ilmu agama dari satu kapal pencari ikan ke kapal lainnya yang sedang bersandar di kota pelabuhan di bagian selatan Taiwan itu.

Pemilik kapal bukan orang Indonesia, melainkan orang Taiwan yang memang tidak diwajibkan memeluk agama tertentu. Di pulau yang disebut Formosa oleh penjajah Portugis karena keelokannya itu tidak diatur masalah agama.
Meskipun demikian, beribadah dan menjalankan ritual keagamaan tetap diizinkan, asalkan tidak mengganggu pekerjaan atau kegiatan di sekolahan.

Para nelayan yang kebanyakan berasal dari wilayah pantai utara Pulau Jawa itu mampu memanfaatkan sekecil apa pun kesempatan yang diberikan oleh majikannya di Taiwan.

Muhsin (55), nelayan asal Surodadi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, layak disebut sebagai peletak dasar ilmu agama Islam di kota pelabuhan yang berjarak sekitar 392 kilometer di sebelah selatan Ibu Kota Taiwan di Taipei. Tanpa kehadirannya, bisa jadi tidak akan terdengar azan atau pun lantunan ayat-ayat suci Alquran sampai sekarang. Demikian pula gema takbir dan tahmid pada malam Idul Adha, Sabtu (4/10), tidak akan menjadi hiburan tersendiri bagi penduduk pribumi di Donggang.

P1060601

Muhsin meninggalkan Donggang sejak empat tahun silam setelah kontrak kerjanya sebagai nelayan habis dan sekarang menetap di kampung halamannya di Kabupaten Tegal. Namun ilmunya dilestarikan oleh para pengikutnya di Donggang.
Pada 2006, para nelayan asal Indonesia terbiasa tidur di kapal-kapal pencari ikan. Di kapal yang rata-rata berukuran 4×20 meter mereka melakukan beragam aktivitas di luar pekerjaan.

Awalnya Muhsin mengajak ketiga rekannya, yakni Sutikno, Yunus, dan Tuwu untuk shalat berjemaah. “Setelah bersembahyang, Pak Muhsin mengajari kami mengaji,” kata Sutikno (43) saat ditemui di Pingtung, Minggu (5/10). Dari tiga orang, jumlah santri Muhsin berkembang menjadi 10 orang. “Saya sejak 2005 berada di Pingtung, tapi baru dua tahun kemudian bertemu Pak Muhsin,” kata Sahudi (32).

Nelayan asal Desa Kali Lingi, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, itu mengaku sebelumnya sama sekali tidak bisa mengaji, apalagi mengerti ilmu agama.

“Sejak kelas 2 SD saya sudah membantu orang tua bekerja sebagai nelayan di Brebes sana. Tidak pernah diajari mengaji. Saat pulang kampung beberapa waktu lalu, keluarga saya kaget karena sudah bisa mengaji,” ujar pria yang tidak tamat SD itu.
Demikian pula yang dialami Imam Sobirin yang masih bertetangga dengan Sahudi. “Saya memang pernah belajar mengaji di kampung. Tapi baru betul-betul bisa, ya setelah ketemu Pak Muhsin,” ujarnya.

Hingga 2010 jumlah santri Muhsin sudah mencapai angka 100-an sehingga tidak mungkin belajar dan shalat berjemaah dilangsungkan di kapal pencari ikan.

“Kebetulan ada warga sini yang mau mengontrakkan rumahnya. Kami pun sepakat patungan membayar sewa rumah 8.500 NT (setara Rp3.400.000) per bulan,” kata Sutikno.

Mimpi Para Nelayan
Bangunan dua lantai yang beralamatkan di 34-1 Fung Yu Li, Fung Yu St, Donggang, itu kini tidak hanya menjadi tempat tinggal para nelayan.

Di bangunan milik Su Kwu Chen yang berjarak sekitar 20 meter dari dermaga persandaran kapal ikan di Pelabuhan Donggang itu dihuni sekitar 100 nelayan.

Sekilas bangunan itu mirip pondok pesantren di Pulau Jawa. Sekat-sekat di lantai dasar bangunan itu bukan berfungsi sebagai pembatas antarkamar, melainkan pembatas ruang makan, gudang, dan sekretariat Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia (Fospi). Para nelayan di Donggang bergabung dalam organisasi itu.

Di lantai dua hanya ada dua sekat. Mereka menjadikan lantai dua sebagai tempat beribadah sekaligus tempat belajar agama. Meskipun bukan masjid, lantai dua bangunan itu dijadikan tempat shalat Jumat dan shalat Id sebagaimana terlihat dari adanya mimbar dan tongkat untuk khutbah di bagian sudut.

Sampai saat ini para nelayan, khususnya yang masih baru bekerja di Donggang, memanfaatkan rumah itu untuk belajar ilmu agama pada malam hari. Pada pagi sampai sore hari, mereka bekerja di kapal untuk mencari ikan di perairan Selat Taiwan hingga Laut Pasifik. “Tapi ada juga yang kapalnya melaut pada malam hari. Biasanya kalau kerja malam hari, waktunya lebih singkat sehingga belajar agama pun bisa lebih leluasa,” kata Imam Sobirin.

Dalam kurun waktu empat tahun lebih, para nelayan itu sudah berhasil menghimpun dana 6.150.000 NT atau setara Rp2,4 miliar. Uang yang mereka kumpulkan dari hasil iuran itu hendak mereka tasarufkan untuk membeli bangunan dua lantai tersebut.P1060645

Namun bagi warga asing tidak mudah untuk bisa memiliki properti di Taiwan. “Itu yang menjadi salah satu kendala kami untuk menjadikan bangunan ini sebagai masjid,” kata Sekretaris Fospi Pingtung, Suparto. Untuk bisa mewujudkan impian para nelayan itu, maka harus dibentuk yayasan atau lembaga hukum lainnya yang di dalam struktur kepengurusan harus melibatkan satu hingga dua orang penduduk Taiwan.

“Hal inilah yang mencoba kami fasilitasi dengan mengajak pengurus masjid di Kaohsiung dan CMA (Asosiasi Muslim China) untuk bergabung dalam yayasan tersebut,” ujar pendiri PCINU Taiwan, Bambang Arip, saat bertemu para nelayan di Donggang, Sabtu (4/10).

Pihak keluarga Su Kwu Chen memang berniat menjual bangunan tersebut. Namun mereka juga harus terlebih dulu memastikan legalitas jual-beli bangunan agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Kalau saja bangunan itu sudah berpindah tangan kepada para nelayan, maka akan menjadi satu-satunya masjid di Taiwan yang dimiliki oleh warga negara Indonesia.
“Kami semua di sini bertekad meneruskan perjuangan Pak Muhsin. Bagi kami, ini adalah karunia yang tidak ternilai,” kata Dani, nelayan yang sehari-hari menjadi imam shalat di masjid sekaligus penampungan para nelayan itu. (*)

Taipei Main Station Bukan Sembarang Stasiun

M. Irfan Ilmie

Terminal atau stasiun di Indonesia lazimnya berfungsi sebagai tempat pemberangkatan dan pemberhentian bus atau kereta api. Orang-orang yang lalu-lalang di tempat itu kebanyakan juga hendak bepergian ke berbagai tempat tujuan.

Tidak jauh berbeda dengan di Taiwan. Terminal dan stasiun juga sama fungsinya dengan di Indonesia. Taiwan memiliki “Taipei Main Station” (TMS) sebagai tempat perpaduan sistem transportasi publik, mulai dari taksi, bus kota, bus antarkota, MRT jalur bawah tanah, kereta api konvensional, hingga kereta api super cepat yang dikenal dengan “Taiwan High Speed Railway” (THSR).
Di tempat itu pula masyarakat Taiwan dapat menggunakan beragam jenis transportasi publik ke berbagai tujuan di penjuru negara berpenduduk sekitar 23,5 juta jiwa tersebut.

TMS yang pada saat pertama kali dioperasikan oleh pemerintah pendudukan Jepang pada 1901 dengan menggunakan nama “Taipei Railway Station” itu terus berbenah seiring dengan beberapa kali perluasan.
Sesuai perkembangannya, terminal dan stasiun yang berlokasi di Distrik Zhongzhen dan Distrik Datong itu makin banyak berdiri mal.

Bahkan di bawah permukaan tanah bangunan utama stasiun terdapat pusat perbelanjaan tiga lantai “Taipei City Mall” yang menyediakan berbagai keperluan sehari-hari, termasuk perangkat elektronik dan teknologi informasi.
Oleh sebab itu, TMS menjadi pusat keramaian terbesar di Ibu Kota Taiwan.

Apalagi barang-barang yang dijual di “Taipei City Mall” sangat murah dibandingkan dengan di tempat lain di Taiwan.
Namun bagi masyarakat Taiwan yang menginginkan produk bermerek juga bisa datang ke TMS karena ada beberapa tempat perbelanjaan lain, seperti Shin Kong Mitsukoshi Departement Store dan Muji Mall.

Warga negara Indonesia yang tinggal di Taiwan, baik sebagai tenaga kerja Indonesia maupun mahasiswa, lebih senang mendatangi “Taipei City Mall” yang kalau di Jakarta hampir mirip dengan Pasar Senen atau di Surabaya dengan PGS-nya.

Sehingga tidak mengherankan pula jika di TMS banyak toko yang pemilik dan pelayannya WNI. Bahkan tidak sedikit pula toko yang mencantumkan tulisan berbahasa Indonesia dan memasang bendera Merah-Putih.
Pada hari Sabtu dan Minggu, bahasa Indonesia bukan hal yang aneh untuk didengar di “Taipei City Mall” itu. Karena pada hari Sabtu dan Minggu, para TKI mengisi waktu liburnya di tempat tersebut.

Tidak hanya dari Tapei, TKI yang bekerja di Taichung, Tainan, Keelung, dan Kaohsiung juga “tumplek-blek” di TMS pada hari Sabtu dan Minggu.
Lebih dari separuh lantai utama stasiun kereta api TMS yang luasnya hampir sama dengan lapangan sepak bola dipenuhi para TKI. Hanya sebagian saja yang disisakan untuk antrean pembelian tiket THSR.

Ajang Silaturahmi
Oleh karena lokasinya yang bisa diakses dari berbagai penjuru di Taiwan, TMS sering kali dijadikan tempat para TKI untuk berkumpul, baik sekadar untuk melepas kerinduan antar-TKI yang sama-sama berasal dari satu kampung halaman di Tanah Air maupun untuk memanjakan lidah akan masakan khas Nusantara.

Di TMS dijual beraneka jenis penganan khas Nusantara. Apalagi kalau ada acara atau kegiatan keagamaan, seperti “Istighatsah dan Sholawat Akbar” yang digelar di pelataran stasiun kereta api TMS, Minggu (7/9).

“Selain doa bersama, acara ini sekaligus sebagai ajang silaturahmi bagi para TKI,” ujar Agus Susanto selaku panitia penyelenggara “Istighatsah dan Sholawat Akbar” yang dipimpin Habib Muhammad Firdaus Almunawwar dari Pondok Pesantren Daarul Muqorobin, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, itu.

Bahkan menurut Chen Jun Hei (58), warga negara Taiwan, TMS penuh sesak oleh WNI pada saat hari libur keagamaan. Meskipun di Taiwan tidak ada hari libur keagamaan, para TKI mendapatkan kesempatan libur dari majikannya. “Kalau Tahun Baru Hijriah, TMS ini ramai oleh TKI. Apalagi kalau lebaran,” kata pria yang beristrikan WNI itu.

Menurut dia, warga negara Taiwan yang berjualan di kawasan TMS, apalagi di “Taipei City Mall” seakan mendapatkan berkah dari para TKI, terutama pada hari Sabtu dan Minggu serta hari-hari besar umat Islam.

“Makanya, tidak heran jika pelayan toko di sini bisa berbahasa Indonesia,” tutur Chen yang mengaku belum bisa berbahasa Indonesia itu meskipun sudah beberapa kali mengunjungi keluarga istrinya di Karawang, Jawa Barat.

Nahdlatul Ulama sebagai salah satu ormas keagamaan di Indonesia juga tak ingin menyia-nyiakan momentum tersebut. NU mendirikan kantor sekretariat Pengurus Cabang Istimewa di kawasan TMS. “Setiap hari Sabtu dan Minggu, kami biasanya kumpul bareng di sekretariat,” ujar Agus Susanto selaku Wakil Ketua Pengurus NU Cabang Istimewa Taiwan.

Pria asal Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, yang bekerja di pabrik aksesoris telepon seluler di Taiwan itu mengemukakan bahwa NU bukan hanya mewadahi para TKI dalam kegiatan keagamaan, seperti istigasah, tahlilan, atau yasinan.

“Kami biasanya memberikan pelatihan memasak dan menjahit,” kata Ketua Fatayat NU Cabang Istimewa Taiwan, Tarnia Tari, menambahkan.
Agus dan Tari sepakat bahwa alasannya mendirikan sekretariat PCI NU di kawasan TMS itu karena lokasinya yang strategis.

“Dari mana arah pun TMS ini bisa dituju dengan mudah. Kami pun juga dengan mudah bisa mengumpulkan teman-teman,” kata Tari yang bekerja sebagai perawat orang tua di Taipei itu.  (*)

Konversi Keringat ala TKI

M. Irfan Ilmie

“Saya merasa ini adalah berkah,” ujar Sunarti sambil mengayunkan langkahnya meninggalkan Taipei Grand Mosque. Bukan lantaran selesai menunaikan shalat Jumat (29/8) di salah satu masjid besar di Ibu Kota Taiwan itu,  dia mengucapkan kata-kata tersebut, melainkan mengenai kesehariannya yang tinggal satu atap dengan Jinshang di kawasan Yongha, Taipei, dalam sembilan tahun terakhir. “Sepertinya saya juga beruntung,” ucapnya lagi disusul dengan kalimat hamdalah.

Ia tak menyangka jika pekerjaannya di Taiwan adalah merawat dan mendampingi orang jompo. “Lebih tak menyangka lagi, ternyata saya bekerja pada keluarga yang seiman,” ujarnya.

Di masjid agung di pusat Kota Taipei itu, Sunarti tidak sendiri. Dia bersama Jinshang. Keduanya bagaikan ibu dan anak meskipun berbeda latar belakang budaya dan tentunya strata sosial-ekonomi. Sunarti layaknya perempuan desa di daerah perbukitan tandus di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. “Apalagi usia saya sudah mendekati 50,” katanya mengenai penampilannya yang dianggapnya tak pernah berubah sejak masih tinggal di Desa Ceraken, Kecamatan Munjungan.

Jinshang, meskipun sudah berusia 83 tahun, tetap terkesan sebagai perempuan kelas menengah di Taiwan. Jinshang yang pensiunan guru itu tak pernah menganggap Sunarti sebagai klien. Begitu pula dengan Sunarti yang tidak pernah menganggap Jinshang sebagai patron.

Resasi keduanya terkesan alamiah sejak mereka dipertemukan sembilan tahun yang lalu. “Begitu ketemu, saya langsung merasa cocok. Karena merasa nyaman, dia saya anggap sebagai anak sendiri,” ucap Jinshang.

Kebutuhan kedua perempuan berbeda generasi itu hampir sama. Jinshang di sisa usianya ingin hidup bahagia dengan relaksasi dan hal-hal rekreatif lainnya. Demikian pula dengan Sunarti yang menganggap rekreasi bagian tak terpisahkan dari hidup yang dijalaninya jauh dari keluarga.

Jinshang ingin merasa damai di kehidupannya kelak dengan memperbanyak ibadah. Sama halnya dengan Sunarti yang menganggap ibadah sebagai benteng keimanannya. “Setiap Jumat dan Minggu, dia selalu meminta saya bersama-sama ke masjid,” ujar Sunarti.

Langkah kaki kedua perempuan itu sudah hampir tiba di ujung perempatan Shinshang East Road yang padat oleh beragam kendaraan bermotor. Di depan toko peralatan elektronik, Jinshang menghentikan langkahnya.   “Panas,” ujarnya seraya meminta bantuan Sunarti untuk melepaskan jilbab dan baju muslimahnya. Suhu udara yang mencapai 38 derajat Celcius dalam beberapa hari terakhir itu sangat menggerahkan. Payung dan topi lebar menjadi bagian penting bagi masyarakat Taiwan untuk berlindung dari sengatan sinar matahari langsung.

Dalam sekejap, Jinshang sudah berganti pakaian. Ia mengenakan topi lebar dan baju panjang bermotif bunga, sedangkan Sunarti tetap dengan baju muslimahnya. Keduanya berjalan beriringan menuju salah satu halte bus di Heping East Road Section 2 yang berjarak sekitar 300 meter dari Taipei Grand Mosque.

Kebun Cengkih
Tidak banyak memang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang nasibnya seperti Sunarti. Keberhasilan seorang TKI bukan lantaran dimanjakan oleh majikan, namun karena kegigihan dan ketekunannya di negeri orang.

Sunarti bagian dari segelintir TKI yang berhasil di negeri orang karena ketekunan dan kesabarannya. Termasuk sabar menghadapi penderitaan yang telah diteguhkan dalam niat sebelum menyabung nasib di tanah perantauan.

“Selama 15 bulan, gaji yang saya terima sangat kecil karena potongan dari agensi,” katanya dengan menyebut angka 2.000 NT atau setara Rp800 ribu upah yang diterimanya setiap bulan itu selama hampir 1,5 tahun.

Dengan gaji yang masih tergolong di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Trenggalek sekalipun, dia tetap bertahan pada keluarga Jinshang. Baginya iman merekatkan hubungannya dengan keluarga Jinshang. “Keluarga Jinshang, muslim semua. Dari empat anaknya, satu tinggal di Arab yang bekerja di perusahaan elektronik,” tutur Sunarti.

Tentu saja masalah iman bukan satu-satunya alasan. Jinshang merasakan adanya keteduhan, meskipun harus hidup bersama seseorang berbeda latar belakang. “Saya sangat merasa nyaman dan aman saja,” ujarnya.

Mengenai pengakuan majikannya itu, Sunarti mengaku tidak mempunyai trik khusus. “Saya ini ‘wong ndeso’ (orang kampung). Semuanya berjalan begitu saja,” ucapnya.

Namun dia menganggap bahwa pekerjaan apa pun bila dilakukan dengan sepenuh hati, maka akan membawa hasil. “Saya pun merasa satu hati dengan nenek ini,” kata Sunarti.

Pada 9 September 2014, Sunarti mudik ke kampung halamannya di perbatasan Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Pacitan. Keluarga Jinshang mengizinkan Sunarti libur selama dua pekan. “Biasanya baru seminggu di rumah, mereka sudah telepon saya,” ujarnya.

Selama ditinggal mudik Sunarti, Jinshang akan diawasi oleh salah satu anggota keluarga lainnya di Taiwan. “Ya ada keluarga yang mengawasi. Dia dulu pernah didampingi TKI lain, tapi tidak lama karena tidak ada kecocokan,” kata Sunarti.

Dalam kurun waktu sembilan tahun bekerja pada keluarga Jinshang, Sunarti mendapatkan kesempatan tiga kali pulang kampung. Bulan depan merupakan yang ketiga kalinya bagi Sunarti untuk melepaskan kerinduan terhadap suami dan putra semata wayangnya yang duduk di bangku SMA di Kabupaten Trenggalek itu.

Gaji Sunarti sudah tidak lagi dipangkas habis-habisan oleh agen. “Saya sudah berhubungan langsung dengan majikan setelah dua tahun pertama kontrak saya dengan agensi berakhir. Jadi, nggak ada lagi potongan,” ucapnya.

Kini, setiap bulan Sunarti menerima gaji bersih 15.000 NT atau setara Rp6 juta. “Saya masih mendapatkan tambahan 3.000 NT (Rp1.200.000) per bulan,” katanya mengenai insentif yang diberikan salah satu anak Jinshang yang bekerja sebagai polisi di Taipei.

Keringat Sunarti itu kini telah dikonversikan dalam bentuk kebun cengkih seluas 1 hektare di kampung halamannya di Kabupaten Trenggalek. Kebun cengkih itu digarap Shoimin, suaminya.

“Sampai sekarang, saya belum punya rencana usaha. Tapi saya tetap akan menjadikan kebun cengkih itu sebagai bekal masa depan saya dan keluarga,” ucap perempuan yang tak pernah bermimpi memiliki kebuh cengkih seluas 1 hektare itu.

Kebun cengkih milik Sunarti diperkirakan bakal makin luas karena keluarga Jinshang masih menginginkan Sunarti tinggal bersamanya selama tiga tahun lagi. Pemerintah Taiwan di bawah rezim Ma Ying-Jeou mengeluarkan kebijakan perpanjangan masa kerja tenaga kerja asing hingga 12 tahun.

“Dulu awal-awal saya di sini, TKI hanya bisa diperpanjang sampai enam tahun. Lalu sembilan tahun. Sekarang di bawah presiden baru bisa sampai 12 tahun,” ujarnya sumringah. *

Beda Kampung Jawa, Lain Pula Kampung Bugis

Oleh M. Irfan Ilmie

Dominasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Provinsi Bali tidak terbendung hingga empat kali penyelenggaraan pemilihan umum digelar sejak era reformasi. Meskipun perolehan suaranya tak sesignifikan Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, PDIP masih menjadi partai politik yang mendapatkan kursi terbanyak, yakni 24 dari 55 kursi di DPRD Provinsi Bali periode 2014-2019 sebagaimana hasil pemilu legislatif 9 April lalu.

Pada Pilpres 2014, partai politik berlambang kepala banteng gemuk dalam lingkaran yang mencalonkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla melalui koalisi dengan Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.

Berdasarkan rekapitulasi suara sementara, pasangan nomor urut 2 itu di Bali mengungguli pasangan nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Amanat Nasional, Partai Golongan Karya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Bulan Bintang serta didukung oleh Partai Demokrat.

Terlepas dari keunggulan sementara Jokowi-JK di Bali ada fenomena menarik yang terjadi di tengah-tengah komunitas muslim dalam perhelatan politik lima tahunan itu. Di pulau yang berpenduduk mayoritas beragama Hindu itu terdapat sejumlah komunitas muslim. Di Kota Denpasar saja ada Kampung Jawa  yang berada di lingkungan Desa Adat Wanasari, Kampung Bugis (Serangan), dan Kepaon (Pamogan).

Kampung Jawa dan Kepaon lebih banyak dihuni oleh muslim pendatang dari Pulau Jawa dan Pulau Madura, sedangkan umat Islam yang mendiami Kampung Bugis bernenek moyang yang berasal dari Makassar. Komunitas muslim dari beragam etnis itu secara turun-temurun mendiami lahan yang dihibahkan oleh Raja Pemecutan, salah satu kerajaan terbesar di Bali sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun silam.

Pada Pilpres 2014, Rabu (9/7), pasangan Prabowo-Hatta berjaya di Kampung Jawa. Dari empat tempat pemungutan suara yang ada, pasangan nomor urut 1 tersebut meraih suara mayoritas di tiga TPS. Di TPS 15 Prabowo-Hatta meraih 167 suara, sedangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan nomor urut 2 memperoleh 121 suara.

Lalu di TPS 16 Prabowo-Hatta mendapatkan 182 suara, sedangkan Jokowi-JK dengan 124 suara. Kemudian di TPS 18 Prabowo-Hatta meraih 236 suara, sedangkan Jokowi-JK hanya 122 suara. Hanya di TPS 17, Prabowo-Hatta harus mengakui keunggulan Jokowi-JK meskipun terpaut tiga suara, yakni 115 melawan 118.

Kemenangan Prabowo-Hatta di Kampung Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran serta PKS yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih itu. Pada pemilu legislatif 9 April 2014, PKS meraih suara terbanyak di Kampung Jawa. Bahkan seorang caleg PKS meraih 2.000 suara di permukiman padat penduduk di tengah-tengah Kota Denpasar itu. “Dulu perolehan suara saya mencapai angka 2.000. Sekarang saya tidak berani menargetkan angka itu untuk kemenangan Prabowo-Hatta,” kata Umar Dhani, caleg terpilih PKS untuk DPRD Kota Denpasar periode 2014-2019.

Dalam pilpres kali ini, dia berpikir realistis. “Pendukung Jokowi di sini juga banyak. Sangat tidak mungkin Prabowo menang telak,” ujarnya di sela-sela kesibukannya berkeliling TPS di Kampung Jawa untuk mencatat perolehan suara kedua pasangan calon, Rabu (9/7). Namun bukan berarti caleg yang berasal dari Kampung Jawa itu tinggal diam. “Kami tetap bekerja dengan harapan suara pasangan yang didukung partai kami mendapatkan suara sebanyak-banyaknya,” kata Umar Dhani menampik tudingan mesin politik Prabowo tidak bekerja maksimal.

 

Ikatan Emosional

Lain halnya di Kampung Bagus yang justru dimenangkan oleh pasangan Jokowi-JK. Permukiman kecil di tengah-tengah Pulau Serangan yang dihuni sekitar 350 jiwa umat Islam itu memiliki TPS tersendiri. “Kalau pileg kemarin, warga kami memilih di beberapa TPS. Sekarang kami punya TPS tersendiri,” kata Ketua KPPS TPS 7 Kelurahan Serangan, Muhadi.

TPS 7 Kelurahan Serangan khusus diperuntukkan bagi 256 umat Islam yang tinggal di Kampung Bugis. Di TPS itu pasangan Prabowo-Hatta hanya meraih 92 suara, terpaut jauh di bawah perolehan suara Jokowi-JK yang mencapai 135 suara. “Pileg kemarin kami tidak bisa memastikan ke partai mana suara warga Kampung Bugis diberikan karena mereka memilih di beberapa TPS,” ujar Muhadi.

Namun jika melihat Pilkada Provinsi Bali 2013, suara masyarakat Kampung Bugis diberikan kepada pasangan Anak Agung Ngurah Puspayoga-Dewa Nyoman Sukrawan dari PDIP yang dikalahkan oleh pasangan Made Mangku Pastika-Ketut Sudikerta dari Demokrat dan Golkar itu, bisa menjadi salah satu keterkaitan kemenangan Jokowi-JK. Akan tetapi, dukungan tersebut juga tak lepas dari ikatan emosional dan historis karena Jusuf Kalla dari daerah asal nenek moyang mereka. (*)

Janggan Harvesting The Wind, Visualisasi Kebanggaan “Rare Angon”

Oleh M. Irfan Ilmie

Layang-layang bukan sekadar ornamen di hamparan birunya langit Pulau Bali pada musim kemarau seperti sekarang, melainkan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya masyarakat setempat.

Sebagian anak muda di 1a0d265db8ef0434c0b22f2ff0576c0cBali mencoba mengaktualisasikan fenomena budaya yang terancam punah itu. Layang-layang yang biasa mengawang, diangkatnya ke layar lebar melalui film dokumenter berjudul “Janggan Harvesting The Wind”.

Pemutaran film perdananya bertepatan dengan umat Hindu merayakan Umanis Galungan, Kamis (22/5). Hal itu pula yang menyebabkan tiga ruang pertunjukan di Denpasar Cineplex penuh oleh penonton, baik tua maupun muda, berbaur tanpa membedakan warna kulit dan latar belakang suku bangsa. Film berdurasi satu jam 18 menit itu bercerita tentang perjalanan Janggan sebagai salah satu jenis layang-layang tradisional sejak dulu kala.

Kisah dalam film tersebut dibuka oleh rasa penasaran Petra Moerbeek, mahasiswi asal Belanda, atas foto layang-layang Janggan pada tahun 1918. Foto itu dia dapatkan dari leluhurnya di Amsterdam, Belanda, yang pernah bertugas di Indonesia saat masa penjajahan.

Berbekal foto tersebut, Petra menjejakkan kakinya ke Bali. Dari pelayan hotel tempatnya menginap di kawasan Sanur, Denpasar, Petra mendapatkan nomor kontak Anak Agung Yoka Sara, produser film dokumenter tersebut yang juga “rare angon” atau penggemar layang-layang.

Petra tidak hanya menemui sekelompok anak muda yang gemar bermain layang-layang, tetapi juga mendengarkan cerita para sesepuh dari Puri Gerenceng, Banjar Abian Timbul, dan tokoh-tokoh dusun adat di Bali sebagai peletak dasar tradisi permainan tersebut.

Bahkan, mahasiswi berusia 19 tahun yang fasih berbahasa Indonesia itu terlibat langsung membantu anggota “sekaa” (kumpulan anak muda) merancang dan membangun Janggan, termasuk ritual-ritual keagamaan, baik sebelum maupun setelah festival layang-layang digelar di Pantai Padanggalak, Denpasar, digambarkan secara apik dalam film garapan sutradara Erick Est tersebut. “Film ini memotret sejarah Janggan sejak 1918 hingga 2012. Selama masa itu, Janggan tidak hanya menghiasi langit Bali tiap musim layangan tiba, tetapi juga adu gengsi antar-`sekaa rare angon`,” kata Yoka Sara.

Menurut dia, sejarah tersebut tidak hanya direpresentasikan oleh warna-warni ekor Janggan yang panjangnya mencapai 240 meter, tetapi juga melalui pencarian jejak falsafah di balik fenomena tradisi masyarakat Pulau Dewata. Film yang pembuatannya dimulai pada bulan September 2012 hingga Oktober 2013 merefleksikan layang-layang sebagai bagian dari budaya masyarakat Bali berikut perbedaan pembuatan, bahan, dan hal-hal yang terkait lainnya.

“Hingga saat ini belum ada satu pun media, baik visual maupun tekstual, yang telah mendokumentasikan proses di balik megahnya Janggan. Akibatnya, tidak banyak pula generasi muda yang tahu proses di balik pembuatan Janggan, kecuali penyampaian secara lisan secara turun-temurun,” ujar Yoka Sara.

Menatap Cannes
Secara umum film yang bakal diikutsertakan dalam Festival Film Cannes, Prancis, mampu memberikan gambaran secara visual mengenai seluk-beluk pembuatan layang-layang raksasa itu yang sudah menjadi bagian ritual dan budaya masyarakat Bali.

Namun sayang, film tersebut kurang memberikan tempat kepada sebagian masyarakat yang kontra atau terusik oleh layang-layang. Apalagi, festival tahunan di Padanggalak telah menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Peristiwa tewasnya seorang bocah akibat tertimpa Janggan saat asyik menonton Festival Layang-Layang di Pantai Padanggalak pada tanggal 15 Juli 2012 hanya digambarkan melalui potongan-potongan berita di media “online”.

Film itu juga masih menonjolkan arogansi anggota “sekaa rare angon” saat berkonvoi di jalan raya sambil mengusung layang-layang yang lebarnya melebihi bak truk, sedangkan pengguna jalan lainnya pasrah di tengah kemacetan arus lalu lintas.

Dari segi pengambilan gambar, film tersebut juga terkesan membosankan karena keterangan narasumber lebih mendominasi ketimbang figur layang-layang yang menjadi kebanggaan masyarakat dusun adat. Masyarakat luas tentu ingin mengetahui detail pembuatan badan layang-layang, “tapel” (kepala dan hiasan), dan “buntut” (ekor) yang dikerjakan secara terpisah oleh beberapa ahli.

Selain itu, gambar narasumber sering kali terpotong, terutama pada bagian kepala, termasuk wajah Petra sebagai tokoh utama dalam film tersebut juga sering kali tidak utuh. Padahal, eksotisme Petra sebagai warga negara Belanda keturunan pribumi layak ditampilkan secara utuh. Begitu pula, latar belakang ketertarikannya pada layang-layang sebagai permainan tradisional yang tertelan modernitas teknologi.

Walau begitu, film karya sineas lokal Bali yang pertama itu layak diapresiasi. “Film ini bisa meningkatkan motivasi generasi muda dalam mendokumentasikan ekspresi kebudayaan khas Bali yang mengandung banyak nilai sejarah, budaya, dan spiritual. Film ini bisa menjadi media informasi dunia luar akan beragamnya budaya Bali,” kata Wakil Wali Kota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara sebelum menonton bareng “Janggan Harvesting The Wind” itu.

Film yang narasinya diisi oleh Sandrina Malakiano itu juga memberikan pesan tentang gotong royong dan semangat pantang menyerah layaknya Janggan yang tangguh menghadapi tiupan angin di atas langit. “Kuasa matahari menjadi kawan, bukan lagi lawan yang mampu menyilaukan mata mereka,” komentarnya mengenai heroisme “Rare Angon”. (*)

Jeda Kampanye dan Polah Tingkah Kaum Urban

M. Irfan Ilmie

Balai-balai banjar di Kota Denpasar dipadati orang berpakaian putih-putih saat matahari sudah meninggi di ufuk timur. Yang perempuan mengenakan kebaya lengkap dengan selendang yang dililitkan di pinggang dan rambut diikat membentuk sanggul agar lehernya terlihat jenjang. Kemeja menjadi ciri tersendiri bagi kaum pria dengan “kamen” atau kain panjang sebatas lutut lengkap dengan destar di kepala dan selendang di pinggang.

Dominasi warna putih bukan hanya melambangkan kesucian jiwa, melainkan juga meluruhkan kelas sosial masyarakat Pulau Dewata yang sejatinya belum beranjak dari sistem kasta. Dari balai-balai dusun adat itu mereka menyebar ke arah timur menuju Pantai Sanur atau Pantai Padanggalak dan ke selatan menuju Pantai Kuta untuk melakukan Melasti, Jumat (28/3). Dari pagi hingga sore hari pantai-pantai yang dikenal sebagai tujuan wisata favorit itu dipadati oleh lautan manusia berbaju putih lengkap dengan pernik-pernik ritual yang diusung dari balai banjar atau pura di desanya.

Genta di tangan para “sulinggih” saat memimpin upacara Melasti seakan menjadi penanda usainya ingar-bingar kampanye politik untuk sejenak waktu. Praktis sejak Jumat (28/3) hingga Selasa (1/4) di Bali panggung politik menjelang Pemilu 2014, baik di lapangan terbuka maupun kegiatan “simakrama”, ditiadakan sebagaimana keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.

Bagi para calon anggota legislatif dan pengurus partai politik di Pulau Seribu Pura itu berkurangnya waktu lima hari selama masa kampanye Pemilu 2014 bukan persoalan serius karena semata-mata mereka ingin menjaga kekhidmatan dan kekhusyukan umat Hindu mempersiapkan diri menyambut Tahun Baru Caka 1936. Para peserta Pemilu 2014 di Bali pun menaati imbauan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) agar tidak memanfaatkan momentum Hari Raya Nyepi dengan menyisipkan kepentingan politik.

PHDI justru mengajak semua pihak mendinginkan situasi politik menjelang pesta demokrasi lima tahunan itu. “Nyepi kali ini momentum penilaian masyarakat tentang harmonisasi ritual dan politik,” kata Ketua PHDI Provinsi Bali Dr I Gusti Ngurah Sudiana. Malam Pengurupukan, Minggu (30/3) sebagai pengingat bagi umat Hindu untuk sejenak meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi pada esok harinya berlangsung khidmat.

Para peserta pemilu sejauh ini mematuhi imbauan MUDP untuk menahan diri dengan tidak menyampaikan pesan politik di sela-sela Parade Ogoh-Ogoh meskipun bukan rahasia umum bahwa mereka juga menjadi sponsor kegiatan tersebut. Parade Ogoh-Ogoh merupakan ajang kreativitas dan wadah kebebasan berekspresi umat Hindu dalam memerangi angkara murka yang divisualisasikan melalui boneka raksasa terbuat dari “fiber glass” dan “stereofoam” beraneka warna. Tentu saja visualisasi itu berbiaya besar sehingga membutuhkan keterlibatan sponsor.

Ramai-Ramai Tinggalkan Bali

Kalau kontestan Pemilu 2014 mampu menahan dorongan syahwat politiknya pada saat Nyepi, berbeda dengan kaum urban di Pulau Dewata dalam menghadapi gejolak nafsu duniawinya. Mereka memilih meninggalkan tempatnya mencari nafkah saat umat Hindu di Bali pantang bekerja (amati karya), pantang menyalakan api (amati geni), pantang bepergian (amati lelungan), dan pantang bersenang-senang (amati lelanguan) dalam ritual sehari “Catur Tapa Brata Penyepian”.

Golongan ini tidak tahan dengan situasi di Bali yang sunyi, sepi, gelap, dan tentu saja menyengsarakan karena serba terbatas dalam mengakses kebutuhan hidup meskipun cuma sehari. Bagi mereka lebih baik antre berjam-jam di pelabuhan penyeberangan asal bisa menginjakkan kaki di Jawa atau Lombok daripada berada di Bali yang benar-benar bersih tanpa polusi. Mereka cepat-cepat meninggalkan ceruk sumber penghidupannya agar tidak sampai terkejar oleh sinar mentari pagi Tahun Baru Caka. “Sebelum tengah malam sudah harus tiba di Ketapang (Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur),” kata Jakfar Shodiq sebelum meninggalkan galeri batiknya di kawasan Batubulan, Kabupaten Gianyar, Minggu (30/3) siang.

Sejak Jumat (28/3) Pelabuhan Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, dipadati oleh kendaraan bermotor yang hendak menyeberang menuju Pelabuhan Ketapang. Antrean meluber hingga 2 kilometer dari pintu gerbang Pulau Dewata di bagian barat itu. Pemandangan yang sama juga terlihat di pintu gerbang bagian timur. Bahkan, beberapa sopir menyeberang ke Pelabuhan Lembar, Lombok, sedangkan truknya diparkir di Pelabuhan Padangbai, Kabupaten Karangasem, karena tak terangkut kapal terakhir.

Ada pula yang jauh-jauh hari merencanakan pergi ke luar Pulau Bali dengan memburu tiket pesawat murah. “Lumayan dapat tiket promo Denpasar-Makassar hanya Rp699 ribu. Apalagi Nyepi kali ini masa liburnya panjang sampai Selasa (1/4),” kata Umar Ibnu ditemui di Bandara Ngurah Rai, Bali, Jumat (28/3) sore. Pria asal Flores, Nusa Tenggara Timur, itu mengaku mendapat tumpangan dari temannya di Makassar, Sulawesi Selatan, sehingga tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam untuk bersenang-senang di luar Bali. “Nyepi tahun lalu, saya malah ikut kapal Awu (salah satu kapal milik PT Pelni) ke Lembar (Lombok). Di sana saya juga mendapat tumpangan dari teman,” tutur pria yang bekerja di salah satu lembaga negara di Kota Denpasar itu.

Lain lagi dengan warga non-Hindu dari kalangan menengah di Bali. Mereka rela mengeluarkan Rp2 juta hingga Rp3 juta untuk membeli paket Nyepi di hotel. Meskipun fasilitas agak terbatas, “menyepi” di hotel dianggapnya lebih manusiawi. Setidaknya berbagai jenis makanan sesuai dengan selera masih tersedia.

Namun, tidak semua kaum urban di Bali seperti itu, terutama bagi jiwa-jiwa yang sudah menyatu dengan alam Pulau Dewata. “Tidak ada sesuatu yang membebani. Dari tahun ke tahun, saya dan keluarga sudah terbiasa Nyepi di sini,” kata Imam Turmuzi yang sudah delapan tahun tinggal di Jalan Gatot Subroto VI/L Denpasar itu. Pada malam hari, pria asal Malang, Jawa Timur, itu bersama kaum urban lainnya turut berbaur dengan pecalang yang berpatroli di Dusun Adat Teruna Sari. “Malam Nyepi tahun lalu, kami malah kumpul-kumpul di jalan depan banjar (dusun adat),” ujarnya. (*)